Pages

Friday, 20 September 2013

Kamis, 29 Agustus 2013



Hari itu Kamis, 29 Agustus 2013 adalah hari yang tidak mungkin terlupakan, bukan karena ada sesuatu yang membahagiakan tapi justru sebaliknya. Bukan saja aku tapi mungkin seluruh warga SMAN 1 Selong pun merasakan hal yang sama. Kejadian yang telah mengusik ketenangan sekolahku. Menggemparkan seluruh isinya. Ini semua karena ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang seenaknya menghakimi. Membuat kegaduhan dengan laku anarkis mereka.
Awalnya hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan. Berkumpul dengan anak-anak Geschwister (XII IA-3)  sambil mendendangkan lagu kebangsaan kelas kami “Larkas Oralit”. Memang  judulnya sedikit tak lazim. Yah tapi itulah kami, berbeda dari yang lain. Sederhana, unik, dan kompak tentunya. Walau tak banyak yang mengakui hal tersebut namun semua itu tergambar dari kebersamaan yang berlangsung harmonis selama 1 tahun ini. Di saat kelas-kelas lain sedang melangsungkan kegiatan belajar mengajar terkecuali kelas 10 karena bapak dan ibu guru yang mengajar di kelas 10 sedang mengikuti sebuah “workshop” yang diselenggarakan di sekolah kami selama 2 hari ini, kami dengan semangat menyanyikan lagu ciptaan dua orang teman kami. Mereka memang tergabung ke dalam grup musik smansa, tidak heran mereka mempunyai suara yang merdu dan mahir memainkan berbagai alat musik. Lagu gubahan mereka memang acap kali kami nyanyikan. Seperti membentuk grup paduan suara dengan irama yang sedikit lucu kami tidak malu untuk mengekspresikan diri. Salah seorang teman dari kelas lain pun seringkali ikut hanyut dalam kebersamaan kami. Mungkin dia mulai merasa nyaman dengan kehangatan yang tercipta di antara kami. Nah kebetulan kelas kami sedang direnovasi jadi kami tidak mempunyai kelas tetap dan untuk sementara harus berpindah-pindah ke kelas XI dan laboratorium.  Di depan laboratorium bahasa menjadi spot yang tepat untuk berbincang-bincang dan menikmati siang itu dengan nyanyian sembari mengisi kekosongan jam pelajaran.
[i]Setelah merasa bahwa waktu zuhur akan segera tiba, aku memutuskan untuk beranjak ke Musalla yang terletak di bagian belakang sekolah.  Namun banyak di antara temanku  yang masih ingin tetap di sana karena masih asik dengan lagu baru  “Simfoni SMAN 1 Selong”  karya temanku tersebut. Aku pun memutuskan untuk pergi dengan dua orang temanku  yang kelihatannya kurang nyaman untuk bernyanyi bersama. Bukan karena mereka tidak suka hanya saja karena mereka tidak hafal lirik lagunya.  Wajar saja karena lagu itu baru mereka dengar. Mereka juga memang agak sedikit pemalu.
Niatnya di musalla ingin merebahkan badan sejenak sebelum waktu Zuhur tiba, tapi berhubung di sana telah banyak siswa-siswi, aku pun langsung mengambil air wudu. Seperti biasa di dalam tempat wudu aku harus mengantri untuk ke kamar kecil. Sebelum berwudu aku memang sering ke kamar kecil terlebih dahulu.  Tampak keramaian seperti biasa di tempat itu. Berhubung aku lupa membawa mukena, jadi  aku tidak bisa ikut salat berjamaah dan harus menunggu sampai salat berjamaah selesai untuk bisa meminjam mukena temanku yang lain. Bisa saja aku ikut salat berjamaah dengan mukena yang memang ada di musalla, tapi karena kondisi mukena tersebut yang terlihat kurang bersih membuatku tidak nyaman dan tentunya tidak baik untuk dipakai salat. Baiknya hal ini kuberitahukan pada anak-anak rohis yang memang bertanggungjawab untuk hal ini.
Oke rupanya belum sampai pada apa yang menjadi inti. Keadaan masih aman-aman saja, dan ketika salat berjamaah sedang berlangsung, Pak Beki yang menjadi pedagang bakso langganan di sekolah sekaligus penjaga sekolah ku dengan langkah seribu menuju musalla dan anehnya kemudian ia memanjat tembok yang langsung terhubung ke perkampungan di belakang sekolah . Awalnya tidak terlintas pikiran macam-macam dengan perilaku pak bek (begitu ku memanggilnya) tersebut karena raut wajahnya yang terlihat main-main dan tidak nampak serius. Apalagi ketika dia mencoba memanjat tembok tapi terjatuh, itu malah menjadi bahan tertawaan kami. Tapi anehnya dia malah kembali memanjat dan tidak memedulikan duri-duri  yang terpasang di tembok tersebut walau tersangkut di kakinya. Dari situlah kemudian terdengar ada seorang siswi yang berkata bahwa ada demo. Aku sontak berlari ingin melihat  apa yang terjadi. Ku pikir ada demo di jalan depan sekolah.  Aku belum tau apa yang sebenarnya terjadi.  Aku berpikir semua baik-baik saja dan tidak ada yang terlalu menarik perhatian. Aku kembali duduk menanti salat berjamaah selesai.  Belum lama aku duduk, datanglah salah seorang teman sekelasku datang dengan langkah buru-buru dengan raut wajah  yang memucat dan mata yang mulai berkaca-kaca diikuti dengan kedatangan para siswa yang lain. Kali ini dengan tangis. Ada apa dengan kalian? Aku sedikit cemas dan tiba-tiba jantungku berdebar. “ kenapa? ada apa? “ sebelum pertanyaan itu kulontarkan, ia langsung berkata  ‘pak kepala sekolah ditendang-tendang, diancem pake pisau” . Deg.  rasa takut menjalari seluruh tubuhku. “Apa yang terjadi dengan bapak kepala sekolah? Siapa yang memukulinya?” Ia pun menceritakan semuanya dengan tangisan ditambah amarah yang memuncak karena kesal dengan orang-orang itu. Semua siswa pun berlari menuju musalla dengan histeris. Suasana pun menjadi  tegang dan gaduh di tengah salat berjamaah yang masih berlangsung.
Segerombolan orang tak dikenal dan tak diketahui maksud dan tujuannya memaksa masuk ke sekolah kemudian  menaiki gerbang . Bukan hanya terlihat liar, mereka juga membawa barang-barang tumpul dan senjata tajam serta berbagai alat pemukul lainnya. Sasarannya adalah kepala sekolah. Semua siswa sontak terkejut dengan banyaknya orang-orang tersebut. Ada yang ditanya di mana ruang kepala sekolah? Siapa di antara kalian yang dari Rumbuk?
 Ya Tuhan apa maksud mereka?
Tidak ada yang sanggup menjawab, mereka yang dari Rumbuk pun menyembunyikan identitas asli mereka. Bagaimana tidak? Ketakutan yang memuncak mengetahui apa yang akan orang-orang itu lakukan dengan  mereka jika mereka berkata jujur. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku di posisi mereka. Lari tunggang langgang mencari tempat aman.
Dan yang lebih tragis lagi, akhirnya massa tersebut menemukan bapak kepala sekolah. Beliau sempat menghindar dari amuk massa, namun ke mana akan berlari dengan orang sebanyak itu?.  Pak kepala sekolah hanya bisa mengangkat tangan tanda menyerah ketika telah dikepung banyak orang. Percuma saja beliau berbicara dan menanyakan apa maksud orang-orang itu, beliau langsung dihakimi tanpa sebab. Kejadian ini disaksikan oleh banyak siswa yang berlarian dan bersembunyi dari amukan massa.  Menurut penuturan salah seorang temanku yang menyaksikan hal itu, bapak kepala sekolah ditendang, dipukul dan diperlakukan seperti bukan manusia saja. Di manakah hati mereka? Memperlakukan orang secara tidak manusiawi tanpa alasan yang jelas. Sungguh tak layak disebut manusia.
Aku pun tak kuasa menyembunyikan rasa takut sekaligus tak tega dengan apa yang menimpa kepala sekolahku sendiri serta teman-temanku. Banyak di antara mereka sampai tak sadarkan diri. Bapak  Ibu guru yang lain pun terlihat sangat cemas bahkan ada yang tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Suasana pun mulai sedikit membaik (tidak bisa disebut membaik sih), pihak kepolisian mengamankan tempat kejadian. Sementara aku dan teman lainnya menenangkan teman-teman yang sangat sok melihat apa yang barusan terjadi, salah satu bapak guru mengumumkan agar semua siswa berkumpul di musalla dan meminta agar kami mengabaikan terlebih dahulu tas-tas dan perlengkapan lainnya. Beliau pun meminta kami agar tenang dan menjelaskan apa yang telah terjadi. Beliau berkata bahwa ada salah paham . Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan itu. Aku tau beliau hanya memperhalusnya saja agar kami tidak cemas. Kami pun diminta tidak memikirkan hal ini, dan tidak ikut berkomentar jika ada  bahasan mengenai  “hal itu”. Kami pun diminta langsung pulang dan berhati-hati kecuali para siswa yang berasal dari Rumbuk, Sakra dan bagian Selatan lainnya. Mungkin ditakutkan kondisi sedang tidak aman di sana atau takut hal yang tidak diinginkan terjadi (jauh-jauh).
Apa salah kami? Apa ini terkait dengan pro-kontra yang sedang memanas? Ya memang akhir-akhir ini sering terjadi bentrok antara kubu-kubu pendukung calon terkait. Seharusnya ini menjadi ajang untuk membangun Lombok Timur lebih maju lagi, bukan saling menghina dan menyakiti satu sama lain. Pantas saja daerah ini masih disebut daerah tertinggal, banyak dari manusianya yang sungguh picik dan kampungan dalam bertindak.  Ya contohnya ini.  Bukan hanya mengusik ketenangan para pelajar yang sedang menimba ilmu, mental dan psikologis pun ikut terganggu. Ini akibatnya jika menjadi orang yang terlalu fanatik pada sesuatu, mereka tidak bisa mengontrol emosi dan lupa kalau mereka sedang dikendalikan oleh hawa nafsu. Sektor pendidikan yang sejatinya berfungsi mencetak generasi-generasi yang kelak akan membangun daerah ini malah menjadi imbas dari hal yang sangat konyol ini. Proses belajar mengajar harus terhambat selama 4 hari ke depan. Kenapa harus kami yang kalian jadikan objek ketidakwarasan kalian?!
Ya Allah lindungilah sekolah kami, guru-guru kami, dan kami yang menimba ilmu. Kami tidak pernah menginginkan ini terjadi. Tapi kami yakin, kau adalah hakim yang seadil-adilnya.  Apa yang mereka tanam akan mereka petik.  Apa yang telah mereka perbuat pasti terbayarkan.
Jadikanlah daerah kami daerah yang semakin baik dan aman. Agar kami bisa menuntut ilmu dengan rasa aman tanpa ada ketakutan. Hapuskanlah kejadian tadi siang dari ingatan kami.  Agar kami tidak selalu memikirkannya. Semoga pemimpin-pemimpin kami adalah pemimpin yang amanah dan membawa daerah kami Lombok Timur yang tercinta ini semakin berkembang dan jauh dari ketertinggalan.
Semoga orang-orang itu menyadari perbuatannya dan hentikanlah gejolak di daerah kami.




No comments:

Post a Comment